ars

ars

Selasa, 03 Juni 2014

BENTUK BENTUK ARSITEKTURAL SELAKU SIMBOL KOSMOLOGIS

BENTUK-BENTUK ARSITEKTURAL SELAKU SIMBOL KOSMOLOGIS
(Wastu Citra, Bab 4)

Keindahan. Setiap makhluk di dunia dari berbagai bangsa pasti memiliki definisi keindahan masing-masing. Cantik menurut seseorang, belum tentu cantik untuk orang lain, begitu pula keindahan. Pengertian mana yang indah, mana yang buruk rupa tidak selalu sama. Bahkan banyak perkara yang merupakan persoalan bagi kita, ternyata tidak dipermasalahkan oleh bangsa lain. Sebagai contoh, misalnya kita mengatakan Candi Penataran sangatlah indah, selaras dari berbagai sisi sangatlah harmonis, hal itu hanyalah pernyataan subjektif dari kita, bukan orang lain. Sebab membangun Candia tau pintu gerbang bagi nenek moyang kita bukan karya nomor satu yang dicari keindahannya, melainkan tugas kewajiban rohani atau agama yang ber’dunia’.

Mereka yang menghidupi dan member perlindungan serta pegangan pada anak-anak itulah yang dicari oleh anak yang masih serba tergantung. Pria dan wanita ideal pun juga memiliki berbagai definisi menurut berbagai bangsa. Oleh sebab itu, banyak karya seni dan arsitektur pada masa lalu tidak selayaknya kita nilai dan kita ukur menurut estetika masakini.
 



Pada tahap primer orang berpikir dalam alam penghayatan kosmis dan mistis atau agama. Segi mitos menyangkut ke-ada-an manusia atau semesta dari dasar-dasarnya yang paling akar. Sebagai contoh orang bali membangun meru-meru bukan hal utama yang dipikirkan adalah keindahan, namun meru-meru dibangun seperti itu karena merupakan tuntutan agama. Begitujuga dengan pertunjukan kecak/wayang. Wayang melulu dilakukan sebagai kewajiban akan kepercayaan dan keagamaan, demi keselamatan kehidupan manusia. Sekarang, pertunjukan wayang/kecak banyak dilakukan bukan sebagai filosofis pemujaan, namun sebagai kegiatan komersil.

Dalam alam pikiran mitologis, manusia masih tenggelam dalam alam dan gaib. Raja adalah titisan dewa Wishnu, wanita, sawah, ladang dan petani titisan Dewi Sri di Indonesia. Hal ini juga terjadi di luar negeri walaupun sangat berbeda. Adanya patung gadis-gadis menari di gedung opera paris juga dinilai dibangun pada masa kosmologis gaib. Dalam bentuk arsitektural terdapat cirri keagamaan yang bila kita perhatikan diilhami  dari kedalaman manusia yang peka dimensi kosmologis. Dalam kristenpun juga ada. Sebagai contoh dalam masa Kristen-islam, terdapat sebuah cirri pada bangunan masjid yang bentuk kubahnya seperti mustaka/kepala yang ternyata ada kemiripan dengan masjid-masjid di india, Malaysia bahkan jerman selatan. Walaupun disana disebut seperti bawang.
Arsitektur pada gereja St. Paulus di Roma dengan Interior Masjid Al-Aqas Darussalam pun hampir tidak memiliki perbedaan. Arsitektur dari alam padang pasir pasti memiliki cirri khas yang lain jika dibandingkan dengan arsitektur iklim tropika. Juga selera orang cina dan afrika pasti berbeda. Demikian juga kita tidak mungkin menemukan satu gaya tunggal bagi arsitektur gereja atau kuil yang tunggal. Lain di cina, lain pula di arab. Masyarakat disana sudah demokratik sehingga dari segi arsitektur tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok.
 Gereja St. Paulus Roma

Masjid Al-Aqsa Darussalam



Salah satu cara penghayatan arsitektural yang tidak dihayati dalam arsitektur masjid Indonesia seringkali justru dihayati oleh Negara lain, Timur Tengah misalnya. Di Indonesia ragam hias yang digunakan tidak banyak menggambarkan bunga-bungaan tetapi lebih ke ayat Al-Quran, lain halnya dengan arsitektur timur tengah yang banyak menggunakan mosaic. Tampaklah betapa ayat Qur’an disegala penjuru seperti member kesan tunggal semua berseri laa-ilahaill-Allah.

Seperti dalam Arsitektur Islam, arsitektur Kristen pun tidak memiliki satu desain yang dapat mengaku monopolistic, hampir semua ada kesamaannya. Bentuk-bentuk arsitektural gereja pada masa itu banyak mengambil gaya warisan kebudayaan Yunani-Romawi, lambing jalan maupun bangsal perjumpaan hampir semua serupa. Citra dominan mengarah ke lambing Kerajaan Tuhan yang lain sama sekali dari kerajaan fana duniawi, dari perjanjian lama kaum hibrani. Setelah bertemu dengan kebudayaan arab, sisilia pada gereja menjadi lebih ramping. Hal ini menyiratkan bahwa ada pengaruh arab dalam gereja.
Keterampilan teknik pada umat beragama masa lalu sangatlah mengesankan. Mereka menempelkan batu alam pada bangunan yang ramping dan transparan. Maka citra yang terpancar dari bangunan gereja abad pertengahan di Negara yang minim sinar mata hari itu menjadikan gereja sepagai pusat pencahayaan. Sesuai dengan filsafat  arsitektur Gotik yang kaya akan unsure vertikalisme, transparan dan diafan. Prinsip Citra cahaya selaku lambing Rahmat Allah diterapkan juga oleh arsitek-arsitek modern dengan teknologi yang konstruktif dan modern. Seperti pada bangunan gereja Meggen Luzzern (swiss). Pada masa itu gereja dibangun dengan bentuk seperti jalan raya dengan langit-langit berlengkung-lengkung seperti matahari, dengan denah berbentuk salib.
 gereja meggen luzzern



Kesan orang didalam gereja itu memang seolah-olah orang tidak berada dalam suatu gedung, tetapi dalam hutan dengan batang pohon dan hiasan vegetative yang mempesona. Bandingkanlah dengan penerapannya pada gereja-gereja modern. Tetapi arsitek besar pertengahan abad ke-20, Le Corbusier mengubah arsitektur Alma Mater Maria menjadi citra rahim, guwa, pembenihan semesta alam. Dalam masa ini unsur-unsur vertical ditinggalkan dan digantikan unsure lengkungan yang feminism. Rahim dalam filosofi ini bukan berarti gelap, melainkan rahim yang telah terkena cahaya illahi.

Dalam hakikat islam maupun Kristen pada hakikatnya bumi adalah tempat yang suci untuk beribadat. Maka sesungguhnya Gereja maupun Masjid adalah tempat pemersatuan umat beriman daripada tempat beribadat melulu. Wujud arsitekturalnya bermacam-macam tergantung aspek apa yang ingin ditonjolkan. Hal ini berlaku pula untuk hal-hal non monumental namun berfungsi vital seperti rumah tunggal maupun gedung gedung fungsional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar